Masuk

Notification

×

Iklan

Tag Terpopuler

Kartini dan Luka yang Kita Diamkan

Rabu, 23 April 2025 | April 23, 2025 WIB Last Updated 2025-04-23T00:29:20Z

 


Oleh: Mystica Bemu


Kita bicara emansipasi di Hari Kartini, tapi realitas perempuan di Kabupaten Sikka hari ini masih dibayangi oleh kekerasan seksual yang marak, sistem hukum yang lemah, dan budaya yang permisif terhadap ketidakadilan. Tidak berlebihan jika saya katakan bahwa tubuh perempuan di Kabupaten Sikka masih menjadi objek kekuasaan yang diremehkan, baik oleh pelaku kekerasan maupun oleh sistem yang diam.


Lebih menyakitkan lagi, sebagian dari kita (perempuan itu sendiri) justru memilih nyaman dalam ketertindasan. Mereka tahu sedang diperlakukan tidak adil, tapi memilih tutup mata. Lebih parah, ada yang ikut membungkam perempuan lain yang berani bersuara. Di titik ini, perjuangan bukan hanya melawan kekerasan, tetapi juga melawan sesama perempuan yang kehilangan keberpihakan pada nilai diri.


Bagaimana kita mau bicara perubahan, jika sebagian perempuan justru menikmati relasi kuasa yang timpang? Bagaimana kita menuntut perlindungan hukum, jika masih banyak yang rela ditindas demi “kenyamanan” yang semu? Kita tidak bisa terus bersembunyi di balik dalih “budaya” atau “harga diri keluarga” saat tubuh dan martabat perempuan dikorbankan secara sistemik. 


Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual memberikan ruang hukum yang jelas dan tegas bukan hanya untuk menghukum pelaku, tetapi juga untuk melindungi korban. Namun, implementasinya di daerah seperti Kabupaten Sikka masih lemah, minim sosialisasi, belum terintegrasi dalam pelayanan korban, dan aparat penegak hukum yang belum sepenuhnya paham atau berpihak. Dalam praktiknya, perempuan masih harus membuktikan bahwa dirinya “layak” menjadi korban. Ini absurd.


Hari Kartini seharusnya menjadi refleksi keras. Kita tidak sedang merayakan sekadar simbol emansipasi, tapi sedang menuntut tanggung jawab bersama dari negara, dari aparat, dan dari kita sendiri sebagai perempuan.


Perempuan di Kabupaten Sikka harus bangkit. Bukan sekadar berdandan dengan kebaya, tapi dengan kesadaran penuh atas hak-haknya. Dan untuk mereka yang masih merasa nyaman dalam relasi yang menindas sadar atau tidak, kalian telah jadi bagian dari masalah. Perlawanan ini tak akan berarti jika masih banyak perempuan yang rela tunduk, bahkan ikut melanggengkan kekerasan atas nama cinta, budaya, atau kepatuhan.


Hari Kartini bukan untuk dikenang melainkan untuk dilanjutkan. Dengan keberanian, ketegasan, dan kesadaran bahwa kita layak untuk bebas dari segala bentuk kekerasan fisik, psikis, hukum, maupun budaya.