![]() |
Rumah Kediamannya Dokter Remi |
Maumere, NTT, 12 April 2025 – Mantan Dokter Anestesi RSUD TC Hillers Maumere, dr. Remidazon Rudolfus Riba, akhirnya angkat bicara menanggapi ancaman pencabutan Surat Izin Praktik (SIP) yang dilayangkan oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia menilai ancaman tersebut tidak memiliki dasar yang kuat dan dilakukan tanpa proses klarifikasi kepada pihak yang bersangkutan.
Saat ditemui di kediamannya di Lorong Binter, Kelurahan Kota Uneng, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka, dr. Remi mengungkapkan bahwa ia bersama rekannya, dr. Evi, sudah tidak lagi berstatus sebagai tenaga medis di RSUD TC Hillers sejak akhir 2024.
“Saya selesai kontrak pada 31 Desember 2024, dan dr. Evi mengundurkan diri per 31 Januari 2025. Jadi tidak ada lagi urusan kami dengan rumah sakit. Tapi tiba-tiba muncul ancaman pencabutan SIP dari Gubernur tanpa ada klarifikasi. Ini yang kami sayangkan,” ujarnya.
Dr. Remi juga membantah tudingan bahwa dirinya dan dr. Evi meminta tunjangan besar yang membebani keuangan daerah. Ia menilai tudingan itu hanya asumsi sepihak yang tidak pernah dikonfirmasi langsung kepada mereka. Bahkan, mereka dituduh tidak melayani pasien, padahal saat itu status mereka sudah tidak lagi aktif di rumah sakit.
“Nama pasien pun kami tidak tahu, sakitnya apa juga tidak tahu, karena sejak kami tak lagi bertugas, semua itu sudah di luar tanggung jawab kami. Bagaimana kami bisa dituduh tidak melayani pasien?” tegasnya.
Lebih lanjut, dr. Remi mengungkapkan bahwa pada Februari 2025, pihak manajemen rumah sakit juga sempat melaporkan mereka ke Kementerian Kesehatan RI, dengan tujuan agar Surat Tanda Registrasi (STR) mereka dicabut. Namun hasil sidang Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) menyatakan bahwa tidak ditemukan pelanggaran SOP berat, sehingga STR dan SIP mereka tetap berlaku secara sah.
“Secara administratif kami bersih. Tidak ada alasan hukum yang membenarkan pencabutan izin praktik kami,” katanya.
Pada 17 Maret 2025, Kementerian Kesehatan secara resmi memutuskan bahwa dr. Remi dan dr. Evi dapat bekerja kembali di rumah sakit lain di wilayah Provinsi NTT. Ia juga menegaskan bahwa pendidikan spesialis anestesi yang mereka tempuh dibiayai oleh Kemenkes, bukan oleh Pemda Sikka, sebagaimana isu yang berkembang di masyarakat.
“Isu bahwa kami dibiayai oleh Pemda Sikka tidak benar. Kami adalah bagian dari program Kemenkes. Jadi kewajiban kami mengabdi di NTT, bukan hanya di Sikka,” terangnya.
Yang lebih memprihatinkan, kata dr. Remi, namanya kembali diseret dalam kasus kematian ibu dan anak di RSUD TC Hillers yang terjadi pada 9 April 2025. Padahal saat kejadian, mereka sudah tidak lagi bertugas.
“Kami bingung. Sudah tak bertugas, tapi nama kami diseret dalam kasus kematian itu. Seolah-olah kami yang harus bertanggung jawab,” ungkapnya kecewa.
Terkait wacana kembali bertugas di RSUD TC Hillers, dr. Remi mengaku sudah bertemu dengan Wakil Bupati Sikka, Simon Subandi Supriyadi, serta Ketua DPRD Sikka, Stef Sumandi. Ia membuka peluang untuk kembali bekerja, dengan satu syarat: manajemen rumah sakit harus dibenahi terlebih dahulu.
“Dalam pertemuan via Zoom dengan Bupati, ceritanya jadi lain. Jadi kami belum bisa ambil keputusan. Tapi kami tetap membangun komunikasi yang baik,” ujarnya.
Dr. Remi menutup pernyataannya dengan satu permintaan tegas kepada pemerintah daerah dan masyarakat.
“Kami hanya minta satu hal: pulihkan nama baik kami. Jangan karena satu kasus yang tidak menjadi tanggung jawab kami, nama kami jadi bahan pergunjingan publik, seolah-olah kami yang paling bersalah. Bahkan sampai ada ancaman dari Pak Gubernur untuk mencabut SIP kami tanpa klarifikasi lebih dulu. Itu sangat tidak adil,” pungkasnya.
(AC)