![]() |
Oleh: Asten, Mahasiswa |
Dahulu, orang-orang sering menyebut Kabupaten Sikka sebagai pintu masuk perekonomian Flores, bahkan Nusa Tenggara Timur. Tak berlebihan, Kabupaten Sikka punya kekayaan alam, sejarah, dan manusia yang luar biasa. Dari Pantai Koka yang mempesona, Salib Portugis dan miniatur kapal kolonial di Kampung Bola dan Piring, hingga gereja tua di Kampung Sikka yang merekam jejak awal peradaban Katolik di wilayah timur Indonesia. Semua ini menjadikan Kabupaten Sikka bukan hanya penting secara geografis, tetapi juga secara historis dan kultural.
Sumber daya manusianya pun tidak kalah menjanjikan. Anak-anak muda kreatif tumbuh sebagai pelukis mural, penggerak musik Reggae Maumere, pelaku UMKM, hingga aktivis sosial. Mereka adalah simbol harapan dari bawah, energi perubahan yang bisa menggerakkan Sikka ke depan.
Namun, potensi dan harapan yang ada kerap terhenti karena kurangnya dukungan pemerintah daerah. Di balik potensi, Kabupaten Sikka menyimpan satu tantangan besar yang harus dibicarakan secara jujur: ketergantungan akut pada anggaran pusat dan beban utang daerah yang kini jadi warisan bagi pemimpin baru.
Ketergantungan Daerah ke Jakarta
Hari ini, realitas fiskal Kabupaten Sikka sangat ditentukan oleh kebijakan pusat. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sikka sebagian besar masih bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dalam kondisi normal saja, ini sudah membuat daerah tidak leluasa mengatur prioritasnya. Tapi dalam situasi efisiensi anggaran nasional seperti sekarang, ketergantungan ini menjadi sangat berisiko.
Pemotongan dana dari pusat sebagai bagian dari strategi efisiensi fiskal negara langsung berdampak ke daerah seperti Sikka. Banyak hal yang harus dikerjakan akhirnya harus menguras otak untuk disesuaikan dengan anggaran dan kebutuhan daerah. Tidak semua keputusan fiskal nasional mempertimbangkan konteks daerah. Kabupaten Sikka pun hanya bisa menunggu dan menyesuaikan, namun harus berani untuk menentukan pembangunannya sendiri.
Warisan Utang: Pemimpin Baru, Beban Lama
Di tengah efisiensi anggaran pusat, Sikka juga memikul beban lain: utang daerah yang diwariskan dari periode sebelumnya. Pinjaman yang awalnya dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan, hari ini menjadi tekanan nyata.
Cicilan pokok dan bunga utang menyita ruang anggaran yang seharusnya bisa digunakan untuk program-program strategis rakyat. Pemerintah baru Sikka kini dihadapkan pada dua kenyataan: pendapatan daerah yang tak tumbuh signifikan dan kewajiban membayar utang daerah yang pernah dipinjam. Alih-alih fokus pada visi baru, energi APBD justru terserap untuk menyelesaikan utang masa lalu. Inilah realitas politik yang pahit. Pemimpin baru memikul beban lama tanpa ruang cukup untuk bergerak.
“Jaringan Oke”: Janji atau Solusi?
Dalam kampanye dan narasi publik, slogan “Jaringan Oke, Sikka Sejahtera” diusung sebagai semangat pemerintahan baru. Namun hari ini publik layak bertanya, jaringan itu terhubung ke mana? Sepertinya tersambung ke pusat yang sedang mengencangkan ikat pinggang, sementara di daerah kebutuhan masyarakat tetap mendesak.
Jaringan yang dibangun tidak cukup jika hanya politis, yang dibutuhkan adalah jaringan ekonomi produktif, jaringan penguatan kapasitas, dan jaringan kepercayaan antara masyarakat dan pemerintah daerah.
Sikka perlu melihat ke dalam. Membuka potensi-potensi lokal yang selama ini dipinggirkan. Memperkuat ekonomi komunitas, pariwisata berbasis budaya, hingga sektor kreatif yang diisi orang-orang muda. APBD harus dialihkan dari pola konsumtif ke arah produktif. Pada dasarnya, pola pembangunan harus bersifat partisipatif.
Kita harus bicara jujur, Sikka hari ini sedang tidak baik-baik saja. Tapi ini bukan alasan untuk pesimistis. Justru dari keterbatasan ini, pemimpin Sikka bisa membangun kemandirian dan solidaritas sosial yang lebih kuat.
Jika slogan “Jaringan Oke” benar-benar ingin mewujudkan “Sikka Sejahtera”, maka jaringan itu harus dibangun untuk melayani masyarakat dengan anggaran yang bersih, prioritas yang jelas, dan keberpihakan yang tegas.
Semoga “Jaringan Oke, Sikka Sejahtera” bisa terwujud.