![]() |
Screenshot |
Maumere,NTT, 22 Maret 2025 – Komunitas Puan Floresta Bicara (PFB) mengadakan diskusi daring dengan tema "Tanggapan Pemerintah dan Gereja Lokal Terkait Proyek Geothermal". Diskusi ini menghadirkan lima narasumber yang memiliki keahlian dan kepedulian terhadap isu geothermal yang tengah menjadi polemik di masyarakat Flores.
PFB menginisiasi diskusi ini karena melihat proyek geothermal tidak hanya menyangkut lingkungan, tetapi juga berdampak pada kehidupan perempuan, khususnya perempuan masyarakat adat di Flores. Sebagai bagian dari upaya advokasi, PFB berusaha menjadi jembatan antara pemerintah, gereja lokal, masyarakat adat, dan masyarakat luas untuk mencari titik temu dalam perdebatan ini.
Hadir sebagai narasumber dalam diskusi ini:
1. Heribertus G.L. Nabit – Bupati Kabupaten Manggarai
2. Pater Feliks Baghi, SVD – Dosen IFTK Ledalero
3. Thadeus Sukardin – Perwakilan masyarakat adat Poco Leok
4. Gregorius Lako – Perwakilan masyarakat adat Ngada
5. Alexander Aur – Dosen filsafat lingkungan UPH Banten dan peneliti masyarakat adat
Diskusi berlangsung hampir lima jam dan dipandu langsung oleh Sr. Herdiana Randut, SSpS, koordinator PFB. Acara dibagi menjadi dua sesi tanya jawab untuk memberi ruang bagi dialog interaktif.
Pater Feliks Baghi, SVD, mengapresiasi enam uskup Gerejawi Provinsi Ende yang telah menandatangani surat gembala untuk menolak proyek geothermal. Menurutnya, sikap ini merupakan bentuk kenabian Gereja Katolik dalam menjaga keutuhan ciptaan Tuhan. "Orang Katolik yang menerima geothermal berarti dia bukan orang Katolik yang benar," tegasnya.
Dari perspektif masyarakat adat, Thadeus Sukardin menegaskan bahwa proyek ini merugikan warga, khususnya para petani yang menggantungkan hidup dari tanah ulayat. Hal ini juga diamini oleh Gregorius Lako, yang menyoroti dampak sosial proyek geothermal di Mataloko, di mana konflik horisontal bahkan terjadi di dalam keluarga akibat perbedaan pendapat mengenai proyek ini. Ia juga menyesalkan kurangnya sosialisasi yang transparan dari pihak terkait.
Sementara itu, Alexander Aur mengkritisi proyek geothermal sebagai bagian dari kepentingan ekonomi politik yang lebih menguntungkan kapitalis dibandingkan masyarakat lokal. "Ini bukan hanya konflik kepentingan, tetapi juga konflik pengetahuan. Teknologi sering kali dimanfaatkan oleh segelintir pihak untuk kepentingan mereka sendiri," ujarnya.
Bupati Manggarai, Heribertus G.L. Nabit, menjelaskan bahwa izin proyek geothermal bukan dikeluarkan oleh pemerintah daerah, melainkan pemerintah pusat. Ia menegaskan bahwa pihaknya hanya menjalankan tugas sesuai dengan mekanisme dan regulasi yang ada. Menurutnya, proyek ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Flores melalui penyediaan listrik yang lebih baik. Namun, ia juga mengingatkan agar proyek ini tidak menimbulkan dampak negatif seperti yang terjadi dalam kasus Lapindo.
Wakil Ketua PFB, mengucapkan terima kasih kepada para narasumber yang telah berpartisipasi dalam diskusi ini. "Komunitas kami masih seumur jagung, tetapi kami berusaha hadir sebagai jembatan agar setiap persoalan bisa diselesaikan. Kiranya dari hasil diskusi ini, kita dapat menemukan solusi terbaik demi kesejahteraan bersama," ungkapnya.
Diskusi ini diharapkan menjadi langkah awal dalam mencari solusi yang adil bagi semua pihak, terutama masyarakat adat yang terdampak langsung oleh proyek geothermal di Flokami
(AC)