![]() |
Meridian Dewanta, S.H. Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia Wilayah NTT (TPDI-NTT) Advokat Peradi |
Maumere,NTT- Seorang oknum anggota Polres Sikka, Aipda Ihwanudin Ibrahim, yang menjabat sebagai Kapospol Parumaan, Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka, telah dilaporkan ke Polres Sikka pada 18 Maret 2025 atas dugaan pelecehan seksual terhadap seorang siswi SMP berusia 15 tahun berinisial KJN.
Kasus ini bermula sejak Agustus 2024, ketika pelaku meminta nomor telepon korban saat korban sedang membantu istri pelaku menjaga kios sepulang sekolah. Sejak saat itu, pelaku sering menghubungi korban melalui aplikasi Messenger dan melakukan panggilan video call, di mana dalam beberapa kesempatan Aipda Ihwanudin Ibrahim diduga memamerkan alat kelaminnya serta mengajak korban berhubungan badan dengan iming-iming uang sebesar Rp 1 juta.
Korban yang merasa ketakutan selalu mematikan ponselnya setiap kali pelaku menghubungi. Namun, pelaku terus mengulangi perbuatannya, meskipun korban telah mengingatkan bahwa dirinya sudah beristri.
Korban memiliki bukti tangkapan layar (screenshot) dari salah satu panggilan video oleh Aipda Ihwanudin Ibrahim. Selain itu, terdapat saksi yang menguatkan dugaan pelecehan seksual terhadap korban.
Dalam pemeriksaan oleh Propam Polres Sikka, Aipda Ihwanudin Ibrahim mengakui telah melakukan panggilan video call sambil menunjukkan alat kelaminnya dan mengajak korban berhubungan badan dengan iming-iming uang.
Kami mengapresiasi kinerja Kapolres Sikka, AKBP Moh. Mukhson, S.H., S.I.K., M.H., yang telah membebastugaskan dan menahan Aipda Ihwanudin Ibrahim di Rutan Polres Sikka.
Namun, kami menegaskan bahwa penjatuhan sanksi disiplin serta kode etik tidak cukup. Sesuai ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), pelecehan seksual terhadap anak merupakan delik biasa, yang berarti dapat diproses tanpa perlu laporan dari korban atau keluarganya.
Jika Aipda Ihwanudin Ibrahim hanya dikenai sanksi disiplin tanpa diproses pidana, maka Kapolres Sikka akan dianggap lembek dan tidak tegas, yang berpotensi membuat pelaku mengulangi perbuatannya di kemudian hari.
Kami menolak segala bentuk penyelesaian damai atau negosiasi di luar proses peradilan. Pasal 23 UU TPKS dengan tegas menyatakan bahwa perkara kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan di luar proses peradilan.
Pasal 23 UU TPKS berbunyi:
"Perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang."
Kami mendesak Kapolres Sikka, AKBP Moh. Mukhson, S.H., S.I.K., M.H., untuk menegakkan hukum secara tegas, baik dalam aspek disiplin, kode etik, maupun pidana, guna memberikan efek jera dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri.(***)