Kuasa Pendamping Meki Nonna, SH dan Oci Adu Pelapor foto:news-daring.com |
Kupang, 3 Februari 2025 – Kuasa pendamping pelapor dalam kasus dugaan penipuan dan penggelapan senilai Rp1 miliar, Meki Nonna, SH, menegaskan bahwa penyelidikan kasus ini terus berproses sesuai hukum, namun terlapor, seorang pengacara berinisial AN alias Agustinus Nahak, diduga berulang kali menghambat jalannya penyidikan dengan meminta penundaan.
Kasus ini bermula dari laporan polisi tertanggal 20 Mei 2024 dengan Nomor LP/G-144/V/2024/SPKT/POLDA NTT. Setelah serangkaian pemeriksaan oleh Subdit 1 Reskrim Polda NTT, kasus ini akhirnya naik ke tahap penyidikan berdasarkan gelar perkara pada 2 Desember 2024. Pihak pelapor pun menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) pada 6 Desember 2024, yang juga disampaikan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi NTT.
Namun, alih-alih mengikuti proses hukum, AN justru berulang kali mengulur waktu. Pada 19 September 2024, ia mengajukan permohonan agar kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan dan pelapor mencabut laporan, tetapi tidak ada realisasi. Kemudian, melalui permohonan restorative justice yang diajukan ke penyidik pada 26 Oktober 2024, disepakati bahwa dana Rp1 miliar akan dikembalikan secara utuh.
Hingga kini, AN baru mengembalikan Rp350 juta, yang akhirnya diblokir oleh pelapor karena tidak sesuai dengan kesepakatan. Setelah itu, ia terus meminta perpanjangan waktu dengan berbagai alasan, mulai dari tenggat 9 Desember 2024, lalu 28 Desember 2024, 8 Januari 2025, 23 Januari 2025, hingga terakhir meminta waktu tambahan hingga 7 Februari 2025.
“Sebagai seorang pengacara, AN seharusnya memahami hukum dan menghormati proses penyelidikan. Namun, faktanya, ia justru berusaha mengulur-ulur waktu dengan berbagai dalih. Jika pada 7 Februari 2025 tidak ada penyelesaian, kami akan melaporkan kasus ini ke organisasi advokat terkait dugaan pelanggaran kode etik,” tegas Meki Nonna.
Kuasa pendamping juga mendesak Polda NTT dan Kejaksaan untuk mengawasi jalannya kasus ini dan memastikan proses hukum berjalan tanpa intervensi. Dengan batas waktu 60 hari sejak SPDP diterbitkan, mereka menuntut agar penyelidikan tidak lagi terhambat oleh taktik penundaan dari terlapor.
“Kami ingin kepastian hukum. Jika pada 7 Februari tidak ada penyelesaian, maka kasus ini harus diproses sampai tuntas sesuai prosedur yang berlaku. Tidak boleh ada pengecualian, siapapun dia," pungkasnya.(kl)