Maumere – Wakil Provinsial Serikat Sabda Allah (SVD) Ende dan Pimpinan Provinsial Suster-suster Abdi Roh Kudus (SSPS) Flores Bagian Timur, bersama 12 suster dari Biara SSPS Kewapante, turun langsung ke lokasi pada Minggu, 16 Februari 2025. Mereka berdialog dengan masyarakat Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut yang masih menempati lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT. Krisrama.
Setelah merayakan Misa bersama umat di Kapela St. Teresia Nangahale, Paroki Watubain, Keuskupan Maumere, kedua komunitas religius ini hadir di tengah masyarakat guna memberikan pemahaman dan edukasi mengenai status hukum tanah tersebut. Mereka menegaskan bahwa lahan itu sudah memiliki 10 sertifikat resmi atas nama PT. Krisrama. Usai Misa, mereka melanjutkan kunjungan ke masyarakat yang masih bertahan di lokasi HGU.
Provinsial SVD Ende, Pater Frans Ceunfin, SVD, dalam pernyataannya menyampaikan bahwa kehadiran mereka bukan hanya untuk merayakan Misa, tetapi juga untuk mengajak umat agar tidak terprovokasi oleh pihak lain. “Kita semua sebagai warga negara harus taat kepada hukum yang berlaku. Kami prihatin dengan kondisi ini, di mana pihak Gereja dan Keuskupan kerap disalahartikan. Namun, sebagai bagian dari bangsa ini, Gereja tetap tunduk pada hukum di Republik Indonesia,” ungkapnya.
Wakil Provinsial SVD Ende juga menekankan pentingnya edukasi bagi masyarakat mengenai status tanah tersebut. Ia mengajak tokoh-tokoh setempat untuk memberikan pemahaman yang benar kepada warga agar mereka bisa terbebas dari ketidakpastian hukum terkait kepemilikan lahan tersebut.
Sementara itu, Provinsial SSPS, Sr. Tomasin Beding, SSPS, yang ditemui di lokasi Pedang, menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari kunjungan mereka untuk mendampingi masyarakat pasca-pembersihan lahan. “Kami melihat bahwa masyarakat masih tetap bertahan di lokasi ini. Karena itu, kami mengajak mereka untuk segera meninggalkan lahan ini, karena sudah memiliki sertifikat atas nama PT. Krisrama. Kami juga mengimbau agar masyarakat segera mendaftarkan diri kepada pihak pemerintah supaya mereka bisa terakomodasi dalam program redistribusi tanah yang difasilitasi oleh Kementerian ATR/BPN,” jelasnya.
Sr. Tomasin juga menuturkan bahwa komunitas SSPS, bersama 12 suster yang terbagi dalam dua kelompok, melakukan pendekatan dengan masyarakat melalui dialog dan doa bersama. “Selain memberikan edukasi, kami juga ingin mendengar cerita mereka. Banyak warga mengaku belum mendapatkan informasi mengenai pendataan untuk program redistribusi tanah,” katanya.
Sementara itu, salah seorang warga bernama Laurensius Levi, yang berasal dari Tua Bao dan tinggal di lokasi HGU Nangahale, mengaku masih menunggu kepastian dari pihak pemerintah. “Kami masih menempati tempat ini sambil menunggu penjelasan lebih lanjut dari pemerintah. Kalau soal pendaftaran redistribusi tanah, itu semua harus ada kesepakatan dari kelompok kami,” ungkapnya.
Gereja berharap agar masyarakat dapat memahami situasi ini dengan baik dan mengambil langkah yang sesuai dengan aturan hukum, demi mendapatkan solusi yang terbaik bagi semua pihak. (AC)