Kuasa hukum Demsi Ronald Dully, Adrianus Sinlae didampingi Jonas Dully dan rekan kuasa hukum |
Kupang, 31 Januari 2025 – Kuasa hukum Demsi Ronald Dully, Adrianus Sinlae, menuding adanya kejanggalan serius dalam proses hukum yang menjerat kliennya. Ia menegaskan bahwa berita yang dirilis oleh salah satu media online pada 30 Januari 2025 berisi informasi yang menyesatkan dan tidak sesuai fakta hukum.
"Kami menganggap bahwa berita itu mengandung kebohongan karena dalam proses hukum tidak seperti itu. Kami menemukan banyak kejanggalan sejak tahap penyidikan hingga klien kami ditahan pada 30 Januari 2025," ujar Adrianus dalam konferensi pers.
Menurut Adrianus, informasi yang menyebutkan bahwa kliennya menggelapkan uang sebesar Rp400 juta adalah tidak benar. Ia menegaskan bahwa tuduhan tersebut tidak pernah terjadi dan keberatan atas tuduhan itu telah diajukan di setiap tahapan hukum, baik di tingkat kepolisian maupun kejaksaan.
Lebih lanjut, Adrianus juga menyoroti pernyataan dari Kasih Intel Kejari Kupang yang menyebut bahwa barang bukti berupa rekening koran menunjukkan adanya transaksi sebesar Rp400 juta. "Rekening koran tersebut sama sekali tidak menyebutkan angka Rp400 juta. Ini menunjukkan bahwa ada upaya untuk membangun opini seolah-olah penyidikan berjalan normal, padahal kami melihat banyak kejanggalan," tegasnya.
Kuasa hukum mengaku telah berulang kali berupaya melakukan konfirmasi dan pengaduan kepada pihak kepolisian maupun kejaksaan, dengan tembusan hingga ke Kapolri dan Jaksa Agung. Namun hingga kini, tidak ada tanggapan dari kedua institusi tersebut.
Salah satu kejanggalan yang diungkap Adrianus adalah adanya dugaan penggunaan bukti palsu untuk menjerat kliennya. Ia menyebut ada sebuah nota dan pernyataan yang dibuat oleh oknum polisi yang memaksa kliennya untuk menandatangani dokumen tersebut. "Dokumen ini dijadikan sebagai alat bukti pada 3 November 2023, tapi sampai sekarang kami tidak pernah memegang surat aslinya. Yang kami pegang hanyalah fotokopinya," ujarnya.
Selain itu, ia juga mempertanyakan dasar hukum yang digunakan untuk menjerat kliennya dengan pasal-pasal berat, yakni Pasal 372 KUHP, Pasal 378 KUHP, junto Pasal 379a KUHP, junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, junto Pasal 64 ayat (1) KUHP. "Kami bahkan tidak tahu apakah klien kami dituduh menggelapkan uang atau barang, karena tidak ada kejelasan sejak awal," tambahnya.
Adrianus juga mengungkap bahwa sejak awal, kliennya tidak pernah ditunjukkan alat bukti yang dijadikan dasar penetapan sebagai tersangka pada 13 Juni 2024. Karena itu, pihaknya mengajukan pra peradilan untuk mencari tahu dasar hukum penetapan tersangka tersebut.
Lebih lanjut, ia mengungkap bahwa pada 23 Agustus 2023, kliennya telah lebih dulu melaporkan kasus yang sama ke Polresta Kupang dengan nomor laporan 713, namun laporan tersebut tidak pernah ditindaklanjuti. "Anehnya, laporan ini diabaikan, tapi ketika ada laporan di Polda NTT terhadap klien kami, kasusnya langsung diproses. Ini menunjukkan ketidakprofesionalan dalam pelayanan hukum," ungkapnya.
Tidak hanya itu, Adrianus juga menyoroti pemanggilan kliennya yang dinilai tidak sesuai prosedur. Ia menjelaskan bahwa surat panggilan pertama dikeluarkan pada 20 Januari 2025 untuk pemeriksaan pada 22 Januari. Namun, pada 22 Januari, surat panggilan kedua langsung dikeluarkan tanpa jeda waktu yang cukup, yang jelas-jelas bertentangan dengan KUHAP.
"Kami sudah melayangkan keberatan terhadap pemanggilan ini. Namun, pada 30 Januari, klien kami justru dijemput paksa di rumahnya oleh penyidik bersama Propam dan Provos, lalu langsung ditahan di kejaksaan tanpa surat penahanan yang diberikan kepada kami hingga saat ini," ujarnya.
Dengan berbagai kejanggalan yang terjadi, Adrianus menegaskan bahwa pihaknya akan terus memperjuangkan keadilan bagi kliennya. "Kami melihat ada indikasi kriminalisasi terhadap klien kami. Ini bukan sekadar ketidaktepatan prosedur, tapi sudah mengarah pada pelanggaran hukum yang serius," pungkasnya.(kl)