Masuk

Notification

×

Iklan

Tag Terpopuler

Fantastis atau Fiktif? Mengupas Rp271 Triliun di Kasus Korupsi Harvey Moeis

Kamis, 02 Januari 2025 | Januari 02, 2025 WIB Last Updated 2025-01-02T13:32:50Z
Ketua Peradi DPC Jakarta Utara, Sabar Ompu Sunggu, SH., MH


Newsdaring-Jakarta – Kasus dugaan korupsi dengan nilai fantastis Rp271 triliun yang menyeret nama Harvey Moeis terus menjadi sorotan publik. Ketua Peradi DPC Jakarta Utara, Sabar Ompu Sunggu, SH., MH, dalam video TikTok yang diunggah di akun @sabar_ompu_sungg, mempertanyakan keabsahan angka kerugian tersebut. "Bagaimana jika angka 271 triliun bukan angka yang sebenarnya? Saya menjadi ragu karena ada saksi ahli yang dihadirkan oleh para terdakwa," ungkapnya.


Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebelumnya mendakwa adanya kerugian negara mencapai Rp309 triliun dengan tiga poin utama: biaya sewa smelter yang dianggap terlalu tinggi, pembelian bijih timah dari sumber ilegal, dan kerugian lingkungan akibat aktivitas pertambangan. Namun, proses persidangan mengungkap beberapa hal yang memunculkan keraguan terkait angka-angka tersebut.


Menurut Sabar, saksi ahli Prof. Nindyo Pramono dan Riawan Chandra menyatakan bahwa lembaga yang berwenang menghitung kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016. Dalam kasus ini, perhitungan dilakukan oleh auditor BPKB, yang bahkan tidak dapat menjelaskan rincian perhitungan kerugian dalam laporan analisisnya. Perhitungan Rp271 triliun disebut hanya mengadopsi angka dari ahli lingkungan tanpa verifikasi lebih lanjut.


Isu biaya sewa smelter juga menjadi perhatian. JPU mengklaim bahwa sewa smelter eksternal terlalu mahal, tetapi saksi dari PT Timah Tbk menyatakan sebaliknya. "Biaya operasional smelter internal justru lebih tinggi dibandingkan smelter eksternal," jelas Sabar, mengutip keterangan saksi.


Di sisi lain, klaim kerugian lingkungan sebesar Rp271 triliun juga direvisi oleh ahli menjadi Rp150 triliun, setelah luas lahan tutupan pertambangan yang awalnya dinyatakan 63.149 hektar dikoreksi menjadi 28.379 hektar.


Ahli hukum pidana dan administrasi, Dr. Rocky Marbun, berpendapat bahwa sanksi pidana tidak tepat diterapkan dalam kasus ini. Menurutnya, pelanggaran terkait lingkungan dan pertambangan seharusnya dikenakan sanksi administrasi, bukan korupsi. Pendapat ini didukung oleh Dr. Mahmud Mulyadi, yang menegaskan bahwa peraturan lex spesialis, seperti Undang-Undang Pertambangan, seharusnya menjadi dasar hukum utama.


Sementara itu, Dr. Dian Puji dari Universitas Indonesia menjelaskan bahwa PT Timah adalah anak perusahaan, bukan BUMN. Oleh karena itu, kerugian yang disebutkan tidak berkaitan langsung dengan kerugian negara.


Pada akhirnya, hakim memutuskan bahwa kerugian negara tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi tanpa bukti perhitungan yang jelas. "Keputusan ini penting, namun menyisakan pekerjaan besar bagi semua pihak untuk mengevaluasi proses hukum, khususnya dalam menghitung kerugian negara," tegas Sabar Ompu Sunggu.


Kasus ini membuka wacana penting soal akurasi perhitungan kerugian negara dalam perkara korupsi dan penggunaan dasar hukum yang relevan. Akankah kasus ini menjadi pelajaran besar bagi penegakan hukum di Indonesia?(kl)