Harapan akan air bersih, yang dulu menyala terang ketika proyek Instalasi Kota Kecamatan (IKK) Nita dimulai, kini redup, bahkan padam. |
Newsdaring-Sikka-Ladogahar, Kamis, 19 Desember 2024. Panas siang itu membakar tanah Ladogahar dan Bloro. Seorang pria paruh baya, Benediktus, duduk di depan rumahnya, menatap meteran air yang sudah lama terpasang. "Hanya hiasan," ujarnya lirih. Harapan akan air bersih, yang dulu menyala terang ketika proyek Instalasi Kota Kecamatan (IKK) Nita dimulai, kini redup, bahkan padam.
Warga dua desa di Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, menggantungkan impian mereka pada proyek bernilai Rp3,5 miliar lebih itu. Dengan jaringan perpipaan yang mulai terpasang dan empat bak penampung yang mulai dibangun, mereka yakin masalah air bersih segera berakhir. Tapi keyakinan itu pupus seiring berhentinya aktivitas proyek sejak tahun lalu.
“Meteran air sudah ada di depan rumah kami, tapi airnya tidak pernah mengalir. Kami harus beli air dari tangki, Rp150 ribu sampai Rp200 ribu setiap minggu,” cerita Benediktus, matanya penuh kekecewaan.
Mimpi yang Tak Sampai
Proyek IKK Nita adalah janji besar untuk ribuan warga Ladogahar dan Bloro. Janji yang kini terasa seperti mimpi buruk. Bak reservoar yang belum selesai, mesin pompa yang tak pernah datang, hingga jaringan pipa yang hanya terbentang tanpa fungsi, menjadi saksi bisu dari mangkraknya proyek ini.
"Kami tidak mau tahu soal korupsi atau alasan lainnya. Yang kami butuh hanya air," tegas Benediktus. Kata-katanya penuh harap, tapi juga penuh luka.
Pemerintah Berjanji Melanjutkan
Juventus Gajon, Plt Kadis PUPR Sikka, tak menutup mata pada kekecewaan warganya. Ia mengakui bahwa proyek IKK Nita telah diputus kontrak sejak 2023, namun pemerintah berusaha mencari solusi.
“Kami akan mencoba mengalokasikan anggaran di tahun 2025 agar proyek ini bisa dilanjutkan. Pemerintah tetap berkomitmen memenuhi kebutuhan dasar masyarakat,” jelas Juventus.
Krisis Air yang Melelahkan
Di Ladogahar dan Bloro, air adalah kemewahan. Setiap tetesnya dihargai tinggi, tak hanya dengan uang tetapi juga dengan kesabaran. Saat hujan turun, warga mengumpulkan air dengan ember, baskom, bahkan panci. Ketika kemarau tiba, mereka bergantung pada air tangki yang tak selalu cukup.
Bagi Benediktus dan warga lainnya, hidup tanpa air bersih adalah perjuangan tanpa akhir. "Tolonglah, kami hanya ingin air," katanya, seakan berbicara pada langit, berharap ada jawaban.(AH)