Istimewa |
Newsdaring-Malam itu di sebuah pesta kalangan elite, Prabowo Subianto berdiri gagah dalam seragam militernya. Tatapannya tegas, namun sorot matanya melembut saat menangkap sosok Siti Hediati Hariyadi, Titiek, putri kedua Presiden Soeharto. Ia seperti bulan di malam gelap, anggun namun tak tersentuh. Tapi Prabowo, dengan keberanian yang sudah menjadi darahnya, mendekati perempuan itu.
“Bapak tidak akan mudah merestui hubungan ini,” gumam seorang teman. Namun, Prabowo hanya tersenyum tipis. Cintanya bukan cinta yang mudah menyerah.
Cinta mereka tumbuh di tengah tekanan kekuasaan. Di tahun 1983, mereka menikah. Pernikahan itu bukan hanya ikatan dua hati, tetapi juga dua dunia: militer dan politik. Di altar, Prabowo bersumpah akan menjaga Titiek, tak peduli badai apa yang akan datang. Namun, siapa yang bisa menebak kejamnya waktu?
Cinta yang Tertinggal di Medan Perang
Prabowo bukan lelaki biasa. Ambisinya tak mengenal batas, dan cintanya pada tanah air sering kali melampaui cintanya pada keluarga. Saat Titiek berharap ia pulang untuk makan malam, Prabowo justru berada di hutan, memimpin pasukan dalam operasi rahasia.
Titiek memahami. Sebagai istri seorang tentara, ia tahu bahwa suaminya milik negara, bukan hanya miliknya seorang. Tapi semakin banyak malam yang ia habiskan sendirian, semakin ia merasakan kehampaan. Di rumah megah keluarga Cendana, kemewahan tak pernah bisa menggantikan kehadiran seorang suami.
Sementara itu, Prabowo merasa ia sedang memperjuangkan segalanya, termasuk masa depan keluarganya. Ia tak menyadari, setiap medan perang yang ia taklukkan, sedikit demi sedikit, menjauhkan dirinya dari perempuan yang ia cintai.
Ketika Takdir Menguji Cinta
Tahun 1998 datang seperti badai yang tak terduga. Indonesia bergolak, kekuasaan Soeharto runtuh, dan nama Prabowo terseret dalam pusaran kontroversi. Ia diberhentikan dari militer, dan seluruh dunia seolah menutup pintu untuknya.
Di tengah kekacauan itu, hubungan Prabowo dan Titiek mulai retak. Tak hanya tekanan politik yang menghantui, tetapi juga jarak emosional yang semakin melebar di antara mereka. “Kita masih saling mencintai, tapi cinta saja tak cukup,” ujar Titiek suatu malam. Air matanya jatuh, tetapi ia tahu keputusan itu tak bisa dihindari.
Mereka akhirnya bercerai, meninggalkan luka yang tak terucapkan. Prabowo pergi membawa beban ambisinya, sementara Titiek tetap di bawah bayang-bayang keluarganya, menyembunyikan kerinduannya dalam senyum yang tak pernah sepenuhnya tulus.
Bayangan yang Tak Pernah Hilang
Tahun demi tahun berlalu, tetapi kenangan itu tetap hidup. Dalam setiap langkah Prabowo menuju puncak kekuasaan, ada detik-detik di mana ia teringat pada perempuan yang dulu ia tinggalkan. Ia tak pernah menikah lagi. “Cinta sejati hanya datang sekali,” katanya suatu kali, matanya menerawang, seolah mencari sosok yang tak lagi ada di sisinya.
Di sisi lain, Titiek juga tak pernah benar-benar melupakan Prabowo. Dalam beberapa kesempatan, ia mendukungnya dari jauh, berdiri di antara kerumunan orang, matanya berusaha menyembunyikan kerinduan yang tak pernah ia ucapkan.
Mereka sering terlihat bersama di acara keluarga atau momen politik penting. Setiap kali itu terjadi, media selalu ramai berspekulasi: apakah mereka akan kembali? Tetapi keduanya tahu, ada luka yang terlalu dalam untuk disembuhkan, dan ada jarak yang tak bisa dijembatani oleh sekadar cinta.
Akhir yang Sunyi
Malam-malam mereka kini sunyi, masing-masing ditemani oleh bayangan kenangan yang tak pernah pudar. Prabowo, di balik ketegasannya, menyimpan penyesalan. Titiek, di balik senyum lembutnya, menyimpan rindu yang tak akan pernah sampai.
Mereka adalah dua jiwa yang pernah menyatu, tetapi tak mampu melawan takdir. Dalam kesendirian mereka, ada cinta yang tak pernah benar-benar hilang, hanya terbungkus dalam lapisan-lapisan waktu dan ambisi.
Mungkin di kehidupan yang lain, tanpa beban kekuasaan, tanpa tuntutan ambisi, mereka akan bertemu lagi. Dan kali ini, mereka akan memilih satu sama lain. Tapi di kehidupan ini, cinta mereka hanya bisa menjadi sebuah cerita—sebuah kisah tentang rindu yang tak pernah terjawab. (kl)
Disclaimer:Cerita ini disusun berdasarkan rangkaian fakta, spekulasi, dan interpretasi kreatif semata, untuk tujuan penceritaan yang dramatis dan puitis. Setiap elemen emosional atau imajinatif dalam cerita ini tidak dimaksudkan untuk mencerminkan sepenuhnya kebenaran atau perasaan pribadi tokoh terkait. Jika ada kesamaan dengan kejadian nyata yang tidak tercatat dalam sumber resmi, itu adalah kebetulan semata.