Opini Oleh Marcelus Moses Parera, S.H.,M.H.
Newsdaring-Sikka- Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terus menjadi permasalahan serius.
Tindakan kekerasan adalah pelecehan martabat dan bentuk eksploitasi hak-hak asasi korban dan bentuk pengekangan kebebasan.
Kebebasan seseorang dibatasi secara paksa sehingga pribadi tersebut merasa tertekan, menderita secara fisik maupun mental.
Penyimpangan terhadap martabat dan otonomi seseorang (korban) memperlihatkan bahwa manusia berada pada situasi krisis penghargaan dan penghormatan kepada yang lain.
Pengaruh budaya dan pola pikir yang cenderung mengobjekkan yang lain (perempuan dan anak-anak atau kaum yang lemah) melatarbelakangi praktik kekerasan itu.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948, ditegaskan bahwa pengakuan terhadap martabat manusia sebagai dasar adalah mutlak perlu.
Artinya, bahwa setiap orang mempunyai hak-haknya yang tidak boleh diganggu gugat.
Hak senantiasa sudah ada bersama keberadaan manusia tidak bisa direnggut oleh negara, orang atau badan manapun.
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan bagian integral dari martabat manusia.
Dewasa ini, martabat manusia telah merosot dan berada diambang kehancuran oleh karena kecerobohan tingkah manusia.
Kejatuhan martabat manusia itu ditandai dengan maraknya tindakan kekerasan.
Tindakan kekerasan sudah merasuk dalam ruang keluarga dan menghancurkan relasi antar pribadi di dalam keluarga.
Perempuan dan anak-anak rawan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Namun, tidak jarang pula ditemukan kasus kekerasan di mana korbannya adalah laki-laki dan orangtua.
Definisi mengenai kekerasan telah dirumuskan di dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Pada pasal 1, ayat 1 ditulis mengenai kekerasan dalam rumah tangga sebagai berikut :
Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sengaja melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Konsep kekerasan yang dilegitimasi oleh Undang-Undang di atas memang tidak mengandung semua komponen penting keluarga yaitu orang tua dan anak-anak.
Namun, apabila dianalisis dalam ruang lingkup rumah tangga, ditemukan bahwa bisa jadi korban dalam praktik kekerasan itu adalah laki-laki (suami) dan anak-anak.
Berarti Undang-Undang itu juga harus diberlakukan bagi suami dan anak atau siapapun yang mengalami tindakan kekerasan.
Korban dari kasus-kasus kekerasan di Kabupaten Sikka tersebut didominasi oleh istri dan anak.
Dimana Istri dan anak sering diperalat oleh kaum laki-laki untuk dimanfaatkan secara tidak manusiawi.
Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kabupaten Sikka berupa : Kekerasan Fisik,kekerasan seksual,kekerasan psikis,kekerasan ekonomi.
Kasus Kekerasan tersebut telah menjalar hingga ke pelosok lapisan kategori keluarga entah itu kaya, miskin, berpendidikan tinggi ataupun sebaliknya.
Kasus ini dilatar belakangi oleh beberapa faktor yang secara kasat mata merugikan kaum lemah terutama perempuan dan anak-anak antara lain : Faktor Budaya Patriarkat, Faktor Ekonomi, dan Faktor Perkembangan Teknologi.
Kemunculan kasus KDRT di Kabupaten Sikka menggambarkan betapa mendesaknya perlunya tindakan preventif yang lebih efektif, dibutuhkan sinergi antara pemerintah, lembaga sosial dan masyarakat dalam menciptakan kesadaran akan pentingnya menghormati hak asasi manusia dan melawan segala bentuk kekerasan termasuk KDRT.
langkah-langkah konkrit seperti pendidikan ,pemberdayaan perempuan,peningkatan akses layanan psikologis dan hukum sangat penting.
Mari bersama kita berjuang demi terciptanya lingkungan yang aman,setara dan sejahtera bagi seluruh warga masyarakat Kabupaten Sikka tercinta.