Opini.
NEWSDARING-Kesetiaan dan konsistensi itu, kata orang bijak adalah cara menjaga iman dan kepercayaan. Dan upaya untuk memperkukuh keimanan ini, bisa ditempuh dengan laku spiritual. Tak cuma cukup rajin beribadah, tapi juga berbuat baik kepada sesama makhluk lainnya. Jika pun tidak bisa membantu, sudah lebih dari cukup bila tidak mengganggu.
Tidak hanya suka memberi dan menolong tanpa diminta, terapi juga memiliki kesadaran untuk menghargai kebaikan orang lain. Tak suka berbohong, termasuk menggunjingkan keburukan orang lain. Tak sombong hingga merasa paling benar sendiri. Atau sekedar untuk tampil lebih hebat dari semua orang yang ada disekitar dirinya. Bahkan tak abai dengan pendapat mereka yang sepaham dengan dirinya. Lalu tak kalah penting adalah tak hendak selalu memonopoli pembicaraan pada berbagai kesempatan, hanya supaya terkesan bisa lebih pintar dari yang lain.
Ibarat generasi masa kini dalam bermedsos-ria, jika pun tidak bisa berbagi ide yang baik dan jenial bermanfaat, jangan pula memposting hal-hal yang tidak perlu -- apalagi yang jorok dan buruk -- itu semua sudah lebih dari cukup untuk dipuji dan diapresiasi dengan baik.
Begitulah ikhwal kesetiaan dan konsistensi dalam perkawinan, juga adanya rasa cinta yang murni untuk keluarga maupun saudara serta kerabat dan sahabat. Sebab frekwensi dari rasa cinta itu yang sejati akan selalu terpaut dengan jiwa. Bila tidak, itu semua artinya palsu.
Karenanya, daerah dan wilayah jagat seperti tersebut di atas, biasanya ada di dataran spiritual hingga terkesan sungguh berada di seberang ranah politik, ekonomi yang rentan dari budaya tipu daya untuk selalu bisa tampil didepan, baik dalam bentuk kekuasaan maupun dalam pengertian kepemilikan harta benda -- hingga seolah-olah jadi wajib untuk dikuasai -- atau dimiliki.
Sedangkan bagi para pelaku spiritual bahwa kepemilikan itu bukan meruoakan tujuan. Minimal tidak terlalu dianggap penting untuk ada atau tidak ada. Karena yang utama bagi para pelaku souritual adalah proses menjadi, atau semacam upaya pencapaian yang tidak terlalu mementingkan target tertentu. Apalagi cuma sekedar berujud materi.
Begitulah laku spiritual, sehatinya yang penuh kerelaan serta keikhlasan tanpa pamrih. Karena sikap dan sifat terhadap pengertian legz lila yang sangat dalam itu hanya perlu untuk bisa memahami sikap dan sifat dari perjalanan dalam kesunyian yang mengasyikkan.
Semua itu dirasakan tanpa perlu diganggu dan mengganggu keasyikan orang lain. Oleh karena itu, tampaknya pijakan utama dari mereka yang mengasyiki laku spiritual umumnya bersikap pasrah untuk mengikuti bisikan hati dengan patuh. Tak ada provokasi dari pemikiran yang rasional. Karena bisik hati maupun insting telah jadi pedoman yang patut ditaati. Maka itu, rasa dan feling atau semacam naluri dalam prasangka baik siap memberi arahan terhadap suatu pilihan sikap atau keputusan -- yang tidak terlalu lagi menghiraukan bisikan akal dan pikiran yang sehat dan jenius sekalipun.
Toh, tidak sedikit mereka yang mengunggulkan akal pikiran itu tersesat juga dalam memahami etika dan moral hingga tiada lagi berakhlak untuk disebut manusia beradab. Kasus Rektor main suap dan juga menyuap merupakan aib sejarah peradaban manusia di abad ini yang sangat memalukan. Jauh sebelumnya, tidak kalah bobok adanya sejumlah rektor -- justru dari perguruan tinggi keagamaan -- yang menyetor segepok duit kepada pejabat di departemen hanya untuk bisa dipilih menjadi rektor.
Lalu masihkan bisa diharap lahir dan muncul mahasiswa dan mahasiswi yang jenius dan punya Etika dan moral serta akhlak mulia dari perguruan tinggi yang sudah bobok budayanya itu ?
Sungguh sulit bisa dibayangkan seperti apa produk perguruan yang seharusnya menjadi ganda terdepan benteng pertahanan dan ketahanan budaya bangsa yang kelak harus menghadapi tantangan masa depan yang lebih berat dari hari ini. Sementara kebobrokan budaya di perguruan tinggi mungkin akan terus melaju paralel dengan dengan tingkat kebobrokan yang semakin dan mengerikan itu.
Atau memang sekarang tak lagi perlu berharap banyak pada perguruan tinggi untuk membekali generasi pewaris masa depan negeri ini. Karena sudah beragam rumusan telah diformulasikan guna menjawab kebokrokan sikap para koruptor, pengentit duit rakyat dan mereka yang menggerot dana proyek hingga mereka yang membisniskan perkara hingga draff rancangan Undang-undang, toh manusia pintar bahkan jenius, cuma tidak punya Etika dan moral yang bobrok pula akhlaknya. (Jacob Ereste)