Oleh: Jacob Ereste.
NEWSDARING-Menulis itu, kata guru saya dahulu, harus mendengar bisik cemercik air di sungai. Bisa saja mengalir deras hingga terkadang harus melakukan terjun bebas seperti Niagara yang memukau itu.
Sesekali bisa melandai, lalu menerjang tembok pembatas yang angkuh. Tapi air sungai yang segar, sehat dan jernih itu tidak akan pernah berhenti dan macet. Lain cerita untuk aliran air buatan seperti PAM Jaya Jakarta, masih sering tergantung pada cuaca dan iklim di musim penghujan jadi keruh, jika dimusim kemarau sering lebih banyak macet dan mampet.
Tapi menurut petuah guru saya dahulu ketika mulai belajar menulis. Sesekali bisa mengikuti irama angin, hingga ikut alun gelombang atau bahkan membuat ikutan membuat ombak, meski sungai itu sendiri berada jauh dari Muara dan lautan.
Dari filosofis sungai itu, katanya saya harus bisa bercerita tentang beragam ikan dan makhluk lainnya yang ada di sungai itu yang mungkin belum banyak diketahui oleh banyak orang. Karena cerita tentang biawak saja tidak banyak diketahui banyak orang. Tentu ceritanya akan menarik jumlah mereka yang membacanya, akan sangat tergantung pada kegiatan bercerita. Sehingga banyak orang tertarik dan menaruh perhatian pada sajian cerita yang berbeda dari sajian penulis lain. Meski begitu, tak perlu berusaha mengada-adakan agar terkesan perbedaan, karena yang baik semua otentik dan alami tersuguhkan.
Pada akhirnya, kata guru saya juga, hasrat menulis itu tak perlu dipaksakan. Biarlah hasrat itu mengalir seperti air disungai. Sebab jika pun bisa dibanding, kelak dia akan menjebol juga bendungan yang dilakukan. Paling tidak, jika tak membuat bendungan itu runtuh, air itu pun akan meluap kemana-mana. Maka untuk meredakan kecerewetan, ada baiknya bagi seseorang itu menulis. Sebab dengan cara itu, birahi untuk ngoceh atau nengkuliahi orang lain bisa sedikit mereda atau bisa sama sekali dihentikan.
Jadi menulis itu, ujar guru saya dahulu bagusnya diikuti saja seperti keinginan mau buang hajat. Tak soal tentang hajat kecil atau hajat besar, intinya adalah melepas semua beban. Karena nikmat dan kepuasan hati dan jiwa setelah menulis itu juga persis seperti sehabis membuang hajat. Maka itu ada orang yang menulis itu sehat. Bahkan ada yang menikmatinya sebagai therapy agar tetap sehat dan bugar.
Masalah utama yang biasa muncul kata guru saya juga dahulu adalah bagaimana memilih obyek tulisan yang baik dan bagus untuk dinikmati ditulus dan enak dinikmati oleh orang lain. Sebab pada umumnya pembaca hanya ingin menikmati tulisan itu sebagai hiburan, kalau belum bisa memberi pencerahan.
Ya, dari informasi atau bahkan ilmu dan pengetahuan yang dapat terdistribusikan lewat tulisan itu, bisa saja para pembaca menikmatinya dengan cara lain.
Pendek kata, sebagai penulis tidaklah perlu dibuat pusing dengan bobot atau isi tulisan maupun cara menyajikannya. Sebab yang tidak kalah penting untuk dilakukan, bagaimana agar semuanya dapat tersaji sebaik mungkin. Jika ada data, sebaiknya bisa lengkap. Biasa dengan cara begitu, sebuah tulisan sudah bisa dibilang baik. Apalagi sekedar untuk media sosial yang pembacanya dominan ogah menyimak. Jadi mereka masih bisa dihatagorikan sebagai penonton yang suka melihat gambar-gambar saja. Itu pun acap sekikas saja.
Namun isi dan sajian tulisan, tetap harus baik dan seperfek mungkin. Karena sesederhana apa pun tulisan itu sesungguhnya mencerminkan diri kita juga. Jadi untuk menyajikan paparan tulisan itu perlu dipahami dan dirasakan juga bagaimana getaran hati pembaca, ketika membacanya. Pendek kata, semua harus dan patut dilakukan dengan niat baik, meski hasilnya belum tentu diterima dengan baik.
Ya, selamat berdiskusi. Semoga hasilnya tak hanya menghasilkan tulisan, tapi juga menghasilkan banyak penulis dari Komunitas kita yang terus memperluas jaringan dengan elemen lain.
Semoga paparan singkat ini ada manfaatnya. Dan tulisan ini sangat saya harapkan bisa menjadi bukti penyesalan saya tak bisa hadir, dan mengobati rasa kecewa teman-teman yang sangat berharap kehadiran saya.
**Paparan tulisan ini dimaksudkan sebagai pengganti ketidakhadiran penulis dalam forum diskusi Komunitas Buruh Indonesia bersama Atlantika Institut Nusantara di Tangerang, Minggu, 18 September 2022*