Masuk

Notification

×

Iklan

Tag Terpopuler

Pungutan Rp150 Ribu/Siswa/Bulan: Sah sebagai Biaya Sekolah atau Melanggar Aturan?

Senin, 24 Februari 2025 | Februari 24, 2025 WIB Last Updated 2025-02-24T15:52:51Z

 Disclaimer:

Artikel ini disusun berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, termasuk UU Sisdiknas, UU Pemerintahan Daerah, Permendikbud, dan regulasi terkait lainnya. Informasi dalam artikel ini bersifat umum dan tidak dimaksudkan sebagai nasihat hukum yang spesifik.

Segala bentuk interpretasi dan penerapan hukum terkait pungutan di sekolah tetap bergantung pada kebijakan pemerintah daerah, dinas pendidikan setempat, serta hasil kajian hukum yang lebih mendalam. Jika ada indikasi pungutan yang dianggap tidak sesuai dengan aturan, disarankan untuk berkonsultasi dengan pihak berwenang, seperti Ombudsman RI atau Satgas Saber Pungli.

Penulis dan penerbit artikel ini tidak bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambil berdasarkan informasi dalam artikel ini tanpa konsultasi lebih lanjut dengan pihak yang berkompeten.


Ilustrasi

Kupang – Praktik pungutan bulanan sebesar Rp150 ribu per siswa di SMA/SMK masih menjadi perdebatan. Pihak sekolah sering berdalih bahwa pungutan ini merupakan biaya sekolah yang sah untuk menutupi kebutuhan operasional. Namun, apakah pungutan ini sesuai dengan undang-undang yang berlaku?


Pendanaan Pendidikan: Apa Kata Undang-Undang?

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) Pasal 46 ayat (1) menyatakan bahwa pendanaan pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Namun, tanggung jawab ini tidak boleh diwujudkan dalam bentuk pungutan wajib yang membebani siswa dan orang tua.


Lebih lanjut, Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas menegaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin pendidikan dasar tanpa pungutan. Meskipun aturan ini secara spesifik menyebut pendidikan dasar (SD dan SMP), semangatnya juga berlaku untuk pendidikan menengah (SMA dan SMK), yang seharusnya mendapatkan dukungan dana dari APBN dan APBD.


Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa pendidikan menengah menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Artinya, tanggung jawab utama dalam pembiayaan operasional SMA/SMK ada pada pemerintah daerah, bukan pada orang tua siswa melalui pungutan wajib.


Komite Sekolah Tidak Berwenang Memungut Dana

Komite sekolah sering kali menjadi pihak yang menginisiasi pungutan bulanan dari siswa. Namun, berdasarkan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, komite hanya boleh melakukan penggalangan dana dalam bentuk sumbangan sukarela, bukan pungutan wajib.


Pasal 10 ayat (1) Permendikbud 75/2016 menyatakan bahwa komite sekolah dapat menggalang dana dari masyarakat dalam bentuk sumbangan atau bantuan pendidikan. Namun, Pasal 10 ayat (2) dengan tegas melarang komite sekolah melakukan pungutan dalam bentuk apa pun.


Perbedaan mendasar antara sumbangan dan pungutan adalah:

  1. Sumbangan bersifat sukarela, tanpa nominal tertentu, dan tidak mengikat.
  2. Pungutan bersifat wajib, memiliki nominal tertentu, dan dapat berujung sanksi jika tidak dibayar.

Jika sekolah atau komite sekolah mewajibkan pembayaran Rp150 ribu per bulan dan memberikan sanksi bagi siswa yang tidak membayar, maka praktik ini melanggar hukum dan dapat dikategorikan sebagai pungutan liar.


Bagaimana Jika Dana BOS dan BOSDA Tidak Cukup?

Di daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang rendah, banyak sekolah mengklaim bahwa dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan BOSDA (Bantuan Operasional Sekolah Daerah) tidak cukup untuk menutup seluruh kebutuhan operasional sekolah. Namun, sekolah tetap harus mencari solusi yang tidak bertentangan dengan hukum.


Beberapa langkah yang bisa dilakukan adalah:

  1. Optimalisasi Dana BOS
    Sekolah harus memastikan bahwa dana BOS digunakan secara efektif sesuai dengan Permendikbud Nomor 63 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Dana BOS. Dana ini bisa digunakan untuk membayar guru honorer, membeli alat tulis, dan membiayai operasional sekolah.

  2. Menggalang Sumbangan Secara Sukarela
    Jika sekolah benar-benar kekurangan dana, maka bisa menggalang sumbangan dari orang tua siswa secara sukarela, tanpa ada nominal yang dipatok dan tanpa paksaan.

  3. Mencari Bantuan dari CSR atau Alumni
    Sekolah bisa bekerja sama dengan perusahaan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) atau menggalang dana dari alumni yang sukses untuk membantu biaya operasional sekolah.


Apakah Sekolah Bisa Menentukan Nominal Sumbangan?

Berdasarkan regulasi yang berlaku, sekolah dan komite sekolah tidak boleh menetapkan nominal tertentu dalam sumbangan. Jika ada sumbangan sukarela, jumlahnya harus fleksibel sesuai dengan kemampuan masing-masing orang tua.


Jika sekolah menetapkan nominal Rp150 ribu per siswa per bulan sebagai kewajiban, maka ini tetap termasuk dalam pungutan liar karena bertentangan dengan Pasal 10 ayat (2) Permendikbud 75/2016. Namun, jika nominal tersebut hanya berupa usulan tanpa ada paksaan, dan orang tua diberi keleluasaan untuk memberi lebih atau kurang sesuai kemampuan, maka ini dapat dianggap sebagai sumbangan yang sah.


Sanksi Jika Sekolah atau Komite Melakukan Pungutan Ilegal

Jika sekolah tetap melakukan pungutan wajib, maka bisa dikenakan sanksi berdasarkan:

  1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 12 huruf e, yang melarang pejabat negara (termasuk kepala sekolah) menerima pungutan di luar ketentuan hukum.
  2. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satgas Saber Pungli, yang memungkinkan tindakan hukum terhadap pihak yang melakukan pungutan ilegal di sektor pendidikan.
  3. Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016, yang secara tegas melarang komite sekolah menarik pungutan dari siswa atau orang tua.


Jika ada indikasi pungutan ilegal, orang tua siswa dapat melaporkan praktik tersebut ke:

  • Dinas Pendidikan Provinsi
  • Ombudsman Republik Indonesia
  • Satgas Saber Pungli (Polisi atau Kejaksaan setempat)


Kesimpulan: Pungutan Rp150 Ribu Harus Dikaji Ulang

Berdasarkan regulasi yang berlaku:

  1. Jika pungutan Rp150 ribu per bulan bersifat wajib, maka ini termasuk pungutan liar dan melanggar hukum.
  2. Jika pungutan ini hanya berupa sumbangan sukarela tanpa paksaan, maka diperbolehkan, tetapi harus transparan dan tidak boleh ada sanksi bagi siswa yang tidak membayar.
  3. Sekolah yang kekurangan dana harus mencari solusi legal, seperti:
    • Mengoptimalkan Dana BOS dan BOSDA
    • Menggalang sumbangan tanpa paksaan
    • Menggandeng perusahaan atau alumni untuk bantuan dana

Dengan pendekatan yang benar, sekolah dapat tetap meningkatkan kualitas pendidikan tanpa melanggar aturan dan tanpa membebani orang tua siswa dengan pungutan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum.(kl)